KalselMedia – Peringatan Sumpah Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia, di mana para pemuda mengikrarkan persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. Butir ketiga Sumpah Pemuda secara khusus menyatakan bahwa bahasa Indonesia dijunjung sebagai bahasa persatuan.
Namun, bagaimana sebenarnya sejarah bahasa Indonesia bermula?
Bahasa Indonesia memiliki akar kuat dari bahasa Melayu, yang telah ada sejak abad ketujuh pada masa Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan penelitian, bahasa Melayu saat itu sudah menjadi lingua franca atau bahasa pengantar utama di Nusantara. Prasasti Talang Tuo di Palembang dan Prasasti Karang Brahi di Jambi, yang berisi 70% kosa kata Melayu kuno dan 30% Sansekerta, menjadi bukti awal perkembangan bahasa Melayu.
Bahasa Melayu kuno digunakan sebagai alat penyebaran kebudayaan di masa Kerajaan Sriwijaya, namun seiring kemunduran kerajaan, bahasa ini semakin dipengaruhi oleh bahasa Arab dan Persia akibat masuknya Islam. Salah satu tokoh penting yang mengembangkan bahasa Melayu pada masa itu adalah Hamzah Fansuri, seorang sastrawan sufi dari Pasai, Aceh, pada abad ke-16.
Bahasa Melayu semakin berkembang pesat di era kolonialisme, menjadi alat komunikasi yang menghubungkan masyarakat Nusantara yang beragam. Pada Kongres Pemuda I pada 1926, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa persatuan. Namun, usulan untuk mengganti istilah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia baru diterima dalam Kongres Pemuda II, melalui ikrar Sumpah Pemuda.
Keputusan ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia diakui sebagai simbol persatuan bangsa, berbeda dari bahasa Melayu yang lebih regional. Setelah Sumpah Pemuda, Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I diadakan pada tahun 1938, membahas berbagai aspek perkembangan bahasa Indonesia, termasuk penyerapan kata asing, ejaan, dan peran bahasa dalam pers serta undang-undang.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Bahasa yang semula hanya menjadi simbol persatuan, kini memiliki status sebagai bahasa resmi untuk pemerintahan, pendidikan, dan komunikasi antarbangsa.
Untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, Kongres Bahasa Indonesia II digelar di Medan pada tahun 1954, yang menghasilkan keputusan penting seperti pembaruan ejaan. Ejaan yang Disempurnakan (EYD) akhirnya diresmikan pada tahun 1972, memberikan dasar yang kokoh bagi perkembangan bahasa Indonesia hingga kini.
Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga lambang persatuan dan identitas bangsa yang terus berkembang seiring waktu, dari akar Melayu hingga menjadi simbol kebangsaan yang modern.