KalselMedia – Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 menuai berbagai tanggapan negatif dari para ekonom. Langkah ini dinilai akan memperburuk daya beli masyarakat, terutama dari kalangan kelas menengah dan bawah, yang sudah tertekan oleh kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Peneliti CELIOS, Galau D. Muhammad, memproyeksikan bahwa kenaikan PPN akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga kelas menengah hingga Rp4,25 juta per tahun. Ia menjelaskan bahwa meskipun kenaikan tarif hanya satu persen, dampaknya pada harga barang dan jasa dapat mencapai lima hingga sembilan persen.
“Kenaikan ini tidak hanya membebani kelas menengah, tetapi juga masyarakat miskin yang pendapatannya rata-rata Rp500.000 per bulan. Mereka harus menanggung pengeluaran tambahan hingga Rp100.000 per bulan. Bansos yang ada saat ini tidak cukup untuk menutupi kenaikan tersebut karena jumlah dan waktu pemberian yang terbatas,” ujar Galau.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini akan memaksa masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang non-esensial, seperti hiburan dan perjalanan, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Galau menambahkan bahwa situasi ini diperburuk oleh penurunan omzet UMKM hingga 60 persen pada 2024. Hal ini mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat yang dapat memicu kontraksi lebih lanjut pada sektor-sektor ekonomi lain.
“Harga barang di pasar sudah mulai naik sebelum kebijakan ini berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha telah menyesuaikan diri lebih awal, sehingga rumah tangga hanya mampu memenuhi kebutuhan primer. Industri yang sebelumnya mampu bertahan akan menghadapi tekanan yang lebih besar,” jelasnya.
Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, menyarankan agar pemerintah memberikan insentif khusus kepada kelas menengah untuk meringankan beban mereka. Ia mengusulkan keringanan biaya listrik hingga 50 persen untuk daya 2.200 VA dan bantuan bagi pelaku UMKM.
“Namun, insentif tersebut harus diberikan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Selain itu, pemerintah juga perlu membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan membuka akses pasar bagi UMKM,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai kebijakan kenaikan PPN sebagai “jalan pintas” untuk menutup stagnasi penerimaan pajak dalam satu dekade terakhir.
“Kenaikan tarif PPN hanya memberikan kontribusi tambahan sebesar tiga persen dari PDB sejak 2021. Namun, biayanya terlalu tinggi karena akan melemahkan daya beli, memicu inflasi, dan meningkatkan kesenjangan,” ungkap Yusuf.
Para ekonom sepakat bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen perlu dibatalkan. Selain tidak memberikan manfaat signifikan terhadap penerimaan negara, kebijakan ini juga dinilai regresif karena beban pajak yang lebih besar akan ditanggung oleh masyarakat miskin dibandingkan kalangan kaya.
“Kebijakan perpajakan seperti ini harus lebih adil. Pemerintah perlu fokus pada alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat yang rentan,” tutup Yusuf.