MERETAS BATAS PATRIARKI KIPRAH PEREMPUAN DALAM DEMOKRASI INDONESIA SETELAH 80 TAHUN MERDEKA

Oleh : Nurmiati

Perjalanan delapan dekade kemerdekaan Indonesia merupakan proses panjang yang penuh gejolak, baik dari sisi politik, sosial, maupun budaya. Sejak proklamasi, bangsa ini berusaha menegakkan kedaulatan sekaligus mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Meski telah dicapai banyak kemajuan, masih ada masalah lama yang belum terselesaikan, yaitu peran perempuan dalam masyarakat yang masih dipengaruhi nilai-nilai patriarki.

Kemerdekaan secara formal memang membuka ruang partisipasi bagi seluruh warga negara, tetapi dalam praktiknya, perempuan kerap mengalami pembatasan. Posisi mereka sering disubordinasikan oleh aturan maupun norma sosial yang lebih berpihak pada laki-laki. Padahal, kontribusi perempuan terhadap pembangunan bangsa tidak pernah kecil, baik di lingkup domestik, publik, maupun politik. Karena itu, meninjau kembali kiprah perempuan dalam demokrasi Indonesia menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana batas-batas patriarki berhasil ditembus dalam 80 tahun perjalanan bangsa.

Sejak awal kemerdekaan, perempuan sudah ikut terlibat dalam pembentukan arah demokrasi Indonesia. Sosok Maria Ulfah Santoso, misalnya, menjadi menteri perempuan pertama pada tahun 1946, menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan bukan sekadar simbol, melainkan kenyataan. Sebelum itu, pemikiran tokoh-tokoh seperti Kartini dan Dewi Sartika sudah menegaskan pentingnya pendidikan dan kesetaraan bagi perempuan sebagai fondasi kemajuan bangsa.

Dalam perjalanan selanjutnya, terutama di masa Orde Lama dan Orde Baru, ruang gerak perempuan dalam politik sering kali menyempit akibat sentralisasi kekuasaan. Namun, tetap ada tokoh-tokoh perempuan yang mampu bertahan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Memasuki era Reformasi, kesempatan itu mulai terbuka lebih lebar, terutama dengan diberlakukannya kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun implementasinya masih jauh dari sempurna, kebijakan ini menandai langkah penting untuk memperluas partisipasi perempuan dalam politik. Dari sini terlihat bahwa keterlibatan perempuan dalam demokrasi adalah hasil dari perjuangan panjang, bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba.

Meski sejumlah langkah maju telah dicapai, realitas patriarki masih kuat membayangi perjalanan perempuan dalam politik. Di banyak kesempatan, keberadaan perempuan di parlemen dipandang hanya sebagai cara memenuhi kuota, bukan bentuk pengakuan atas kapasitas mereka. Akibatnya, perempuan sering dituntut membuktikan kemampuan berlipat ganda: sebagai wakil rakyat sekaligus sebagai perempuan yang dianggap “menembus wilayah laki-laki”.

Selain itu, praktik politik uang dan budaya politik yang elitis membuat perempuan sulit bersaing secara adil. Hambatan kultural juga tak kalah berat, masyarakat masih sering menilai kemampuan perempuan dari peran domestiknya. Perempuan yang aktif di ruang publik bahkan tidak jarang menerima serangan personal berupa isu moralitas hingga pelecehan berbasis gender, termasuk di ruang digital. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan dalam demokrasi tidak hanya melawan struktur politik yang timpang, melainkan juga pola pikir sosial yang masih bias gender.

Walaupun menghadapi berbagai tantangan, perempuan Indonesia berhasil menunjukkan kiprah yang nyata dalam memperkuat demokrasi. Kehadiran mereka di kursi legislatif maupun eksekutif telah melahirkan berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil. Beberapa pemimpin daerah perempuan bahkan sukses membangun model kepemimpinan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Di luar ruang formal, banyak aktivis perempuan yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan, menolak diskriminasi, dan membela isu lingkungan. Gerakan mereka menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya tentang jumlah kursi, tetapi juga tentang isi perjuangan dan nilai yang dibawa. Generasi muda perempuan kini juga semakin lantang menyuarakan aspirasi melalui komunitas, gerakan sosial, maupun media kreatif yang memberi pengaruh besar terhadap kebijakan publik. Semua itu membuktikan bahwa perempuan Indonesia telah berhasil meretas sebagian batas patriarki dan memberi warna penting dalam perjalanan demokrasi bangsa.

Kemajuan teknologi menghadirkan babak baru dalam gerakan perempuan. Media sosial dan ruang digital menjadi arena alternatif bagi perempuan untuk bersuara dan memperluas pengaruh. Jika dulu akses perempuan terbatas pada jalur formal, kini mereka bisa menggalang dukungan, mengkritik kebijakan, hingga membangun solidaritas melalui jaringan virtual. Kampanye anti kekerasan seksual, advokasi lingkungan, sampai isu kesetaraan kerja membuktikan bahwa ruang digital mampu memperkuat posisi perempuan sebagai aktor perubahan.

Generasi perempuan muda memanfaatkan platform digital bukan hanya untuk berekspresi, tetapi juga untuk memimpin opini publik. Mereka hadir sebagai aktivis, kreator konten, maupun pemimpin komunitas yang membangun kesadaran kritis masyarakat. Walaupun demikian, tantangan baru juga muncul berupa perundungan digital dan kekerasan berbasis gender online. Hal ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan patriarki kini harus merambah ke ruang maya agar demokrasi Indonesia benar-benar menjadi ruang yang aman dan setara bagi semua.

Refleksi delapan puluh tahun Indonesia merdeka memperlihatkan bahwa perjalanan perempuan dalam meretas patriarki bukanlah hal yang sederhana. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital, perempuan terus berkontribusi meski dihadapkan pada rintangan struktural dan kultural. Kehadiran mereka dalam politik, gerakan sosial, maupun ruang digital membuktikan bahwa demokrasi Indonesia tidak akan utuh tanpa peran perempuan.

Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Patriarki masih menutup peluang setara di banyak aspek kehidupan. Karena itu, negara dan masyarakat perlu bersama-sama menciptakan sistem yang lebih inklusif, adil, dan aman bagi perempuan untuk berpartisipasi penuh. Harapannya, memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang benar-benar menghadirkan kesetaraan, di mana perempuan bukan hanya sekadar pelengkap, tetapi penggerak utama dalam pembangunan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait: