Pendidikan: Fondasi Indonesia Emas 2045

Oleh: Muhammad Riza Fahlipi (Ketua Umum BPL HMI Cabang Banjarmasin)

Visi Indonesia Emas 2045 kerap dielu-elukan sebagai momentum bersejarah ketika Republik ini genap berusia satu abad. Namun visi itu akan tinggal jargon bila tidak diletakkan di atas pondasi yang paling mendasar: pendidikan. Emas yang dijanjikan bukan terletak pada gedung pencakar langit atau pertumbuhan ekonomi semata, melainkan pada kualitas manusia yang dibentuk oleh sistem pendidikan.

Sayangnya, kondisi pendidikan Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Laporan PISA 2022 yang dirilis OECD menempatkan Indonesia pada peringkat 69 dari 81 negara. Skor membaca kita hanya 359 poin, jauh di bawah rata-rata global 437. Sementara matematika berada di angka 366 poin dan sains 383 poin. Angka ini memang naik sekitar 5–6 posisi dibandingkan PISA 2018, tetapi secara substansial masih menunjukkan kualitas pembelajaran yang tertinggal dibandingkan negara lain. Dengan kata lain, capaian itu belum cukup untuk melompatkan bangsa menuju daya saing global.

Kelemahan mendasar lainnya terlihat dari pendidikan usia dini. Hasil Susenas Maret 2024 menunjukkan hanya 27,38% anak usia 0–6 tahun yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan prasekolah. Dari sisi kualitas, data Kementerian Pendidikan menyebut baru 48,5% PAUD yang terakreditasi, sisanya belum terjamin standar mutunya. Padahal, riset global menegaskan masa usia dini adalah periode emas perkembangan otak, sehingga ketertinggalan di tahap ini sulit diperbaiki di kemudian hari.

Kita juga sedang berpacu dengan waktu menghadapi bonus demografi. BPS (2021) memproyeksikan puncak bonus ini terjadi pada 2030–2040 ketika sekitar 70% penduduk berada pada usia produktif. Tetapi kenyataannya, pengangguran justru masih tinggi di kalangan muda: data Februari 2023 mencatat 16,46% pemuda usia 15–24 tahun menganggur, sementara lulusan SMA/SMK menyumbang tingkat pengangguran tertinggi, yakni 8,41%. Jika pendidikan tidak segera diarahkan pada relevansi keterampilan, momentum demografi ini bisa berbalik menjadi “bencana demografi” berupa ledakan pengangguran terdidik.

Pendidikan tinggi pun menghadapi problem relevansi. Banyak lulusan tidak terserap dunia kerja karena kurikulum lebih menekankan hafalan daripada keterampilan praktis. Sementara itu, revolusi digital yang dipercepat oleh pandemi menuntut literasi teknologi, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas. Namun penetrasi internet nasional tahun 2022 baru mencapai 77,02% (APJII), dengan ketimpangan besar antara Jawa dan wilayah timur Indonesia. Jika infrastruktur digital tidak segera diperluas, teknologi justru akan memperlebar jurang kesenjangan pendidikan.

Meski tantangannya besar, peluangnya juga terbuka lebar. Reformasi kurikulum melalui Merdeka Belajar bisa menjadi momentum bila diarahkan konsisten pada penguatan literasi, numerasi, sains, digitalisasi, serta pendidikan karakter. Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil—perlu dimobilisasi untuk memperluas akses pendidikan vokasi dan literasi digital, terutama di daerah 3T. Tidak kalah penting, kualitas guru harus menjadi perhatian, karena guru tetaplah kunci dari keberhasilan transformasi pendidikan.

Indonesia Emas 2045 tidak boleh dipahami sekadar mimpi kolektif, melainkan ujian sejarah: apakah bangsa ini mampu membalik potensi menjadi prestasi, atau justru menjerumuskan dirinya ke dalam jebakan “bonus demografi gagal”. Data PISA 2022 yang menempatkan Indonesia di papan bawah dunia, rendahnya partisipasi PAUD, serta tingginya pengangguran muda adalah sinyal merah yang tidak bisa terus dipoles dengan jargon.

Karena itu, pemerintah harus berhenti menjadikan pendidikan sebagai proyek politis lima tahunan. Reformasi kurikulum tidak boleh berhenti pada pergantian nama dan model ujian, tetapi harus menyentuh inti: menyiapkan generasi dengan keterampilan abad ke-21, menguasai teknologi, namun tetap berkarakter dan berakar pada nilai kebangsaan. Dunia usaha pun tidak bisa lagi hanya menjadi penonton; investasi mereka dalam pendidikan vokasi dan riset adalah kunci lahirnya SDM siap kerja.

Jika strategi ini tidak segera dijalankan, maka Indonesia Emas 2045 hanya akan tercatat sebagai utopia dalam dokumen perencanaan, bukan realitas di lapangan. Tetapi bila pendidikan benar-benar diprioritaskan dengan akses yang adil, kualitas yang merata, dan orientasi yang releva maka 2045 akan menjadi saksi lahirnya generasi emas: bukan hanya cerdas secara akademik, melainkan juga tangguh, berdaya saing global, dan bermoral.

Singkatnya, emas 2045 tidak ditambang dari tanah, tetapi ditempa dari manusia. Dan manusia unggul hanya bisa lahir dari pendidikan yang berani kita benahi hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait: