Budaya Senioritas Jadi Pemicu Bullying, Akademisi HST Harap Perkuat Pendidikan Karakter dan Layanan Pendampingan

Akademisi bidang Pendidikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Washliyah Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) Muhammad Rossi

KalselMedia.com, Barabai – Akademisi bidang Pendidikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Washliyah Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) Muhammad Rossi menyoroti kasus bullying (perundungan) yang terjadi di lingkungan pendidikan yang sudah menimbulkan korban jiwa.

Menurut Rossi, bullying bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan fenomena sosial serius yang berdampak panjang terhadap kesehatan mental, kenyamanan dan keamanan siswa di Sekolah maupun di Pondok Pesantren (Ponpes).

Kasus bullying yang baru-baru ini kembali mencuat di sejumlah sekolah ataupun Ponpes di Kalsel tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dapat menimbulkan trauma psikologis mendalam bagi korban.

“Bullying bukan hanya tentang ejekan atau kekerasan fisik, tetapi juga menciptakan rasa rendah diri, dendam, cemas, hingga depresi. Jika dibiarkan, hal ini bisa merusak masa depan anak,” ujar Rossi di Barabai, Jumat (22/8/2025).

Ia menjelaskan, dalam tiga tahun terakhir terjadi dua kasus kriminal yang menjadi penyebabnya ialah bullying, yakni kasus penusukan antar siswa yang terjadi di salah satu sekolah di Banjarmasin pada bulan Juli 2023, dan sekarang terjadi lagi kasus pembunuhan di salah satu Ponpes di HST yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Lebih dari itu, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, laporan kasus bullying meningkat 23 persen dalam dua tahun terakhir.

“Fenomena ini memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif,” ujarnya.

Rossi menambahkan, salah satu faktor pemicu pembunuhan adalah bullying yang dimana budaya senioritas di sekolah ataupun di Ponpes yang masih dianggap wajar.

“Banyak siswa menganggap tindakan merendahkan junior adalah tradisi, padahal itu bentuk kekerasan yang harus dihapuskan,” katanya.

Ia menekankan bahwa pencegahan bullying harus dilakukan melalui pendekatan menyeluruh, sekolah ataupun yayasan pendidikan perlu memperkuat pendidikan karakter, sementara guru/ustadz dan orang tua harus berperan aktif dalam memberikan pendampingan.

“Tidak bisa hanya instansi pendidikan yang bergerak, orang tua juga harus terlibat. Anak perlu diajarkan empati sejak dini,” jelasnya.

Kemudian, peran guru/pengajar juga sangat penting dalam pencegahan bullying di lingkungan pendidikan, salah satunya dengan cara memfasilitasi siswa/santri untuk berkeluh kesah tentang pribadinya dan lingkungan belajar yang bertujuan untuk membuat rasa aman dan nyaman dilingkungan belajarnya.

“Karena peran guru bukan hanya untuk mengajar, akan tetapi juga bertanggung jawab untuk membimbing dan membuat rasa aman terhadap siswa/santri yang diajarnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005,” jelas Rossi.

Ia juga berharap pemerintah, instansi pendidikan, dan keluarga bisa berkolaborasi menekan angka bullying di Kalsel, khususnya di HST, karena jika tanpa kesadaran bersama, kasus ini dikhawatirkan akan terus berulang dan meninggalkan luka panjang bagi dunia pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait: