KalseMedia – Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip), dr. Yan Wisnu Prajoko, mengakui adanya praktik perundungan (bullying) di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi, yang berupa pungutan sebesar Rp 20 hingga Rp 40 juta. Pungutan ini dibebankan kepada mahasiswa baru selama satu semester atau enam bulan pertama.
Yan Wisnu menjelaskan bahwa praktik pungutan ini terjadi karena beban kerja yang berat. Mahasiswa baru di Prodi Anestesi diwajibkan mengumpulkan dana tersebut untuk kebutuhan operasional sehari-hari, termasuk konsumsi, sewa mobil, hingga biaya kos.
“Satu orang dikenakan Rp 20-40 juta per bulan untuk 6 bulan pertama. Uang tersebut digunakan untuk gotong-royong konsumsi dan operasional lainnya,” kata Yan Wisnu dalam konferensi pers yang diadakan di kantornya pada Jumat (13/9).
Ia juga menyebut bahwa praktik ini paling besar terjadi di Prodi Anestesi, sementara di program studi lain, jumlah pungutannya tidak sebesar itu. Meskipun demikian, Yan Wisnu menegaskan bahwa apa pun alasannya, pungutan ini tetap tidak dapat dibenarkan.
“Saya sampaikan, apa pun alasannya, praktik pungutan ini adalah perundungan,” ungkapnya.
Kasus Kematian dan Penutupan Sementara Program Anestesi
Program Anestesi FK Undip menjadi sorotan setelah dokter Aulia Risma, seorang mahasiswa PPDS Anestesi, ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya pada 12 Agustus lalu. Kasus ini memicu dugaan adanya perundungan dalam program pendidikan tersebut.
Menyusul insiden ini, Kementerian Kesehatan memutuskan untuk menghentikan sementara PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi Semarang, tempat Aulia menjalani pendidikan spesialis. Sebelumnya, Undip sempat membantah adanya perundungan, namun akhirnya mengakui praktik tersebut dan menyampaikan permintaan maaf.
Kasus ini menyoroti pentingnya perbaikan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia, khususnya dalam mengatasi perundungan dan beban kerja yang berlebihan.