Kalselmedia – Pada pemilu Presiden Amerika Serikat tahun ini, di kubu Partai Republik, mantan Presiden Donald Trump mencoba merebut kembali jabatan itu setelah jeda selama empat tahun. Sementara di kubu Partai Demokrat, ada Wakil Presiden Kamala Harris; seorang penantang baru yang membuat rakyat Amerika bertanya-tanya apakah ia mampu melangkah jauh – sampai ke Oval Office (kantor presiden Amerika Serikat).
Debat presiden pada Selasa malam (10/9), dengan nilai produksi tinggi, saling sindir sebelum acara, dan kandidat yang kontras; terasa seperti pertarungan kelas berat.
Bagi Trump, debat terakhirnya pada akhir Juni lalu berujung kemenangan: hanya beberapa minggu setelah debat melawan Trump, Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri kembali setelah performanya dalam debat tidak memuaskan.
Kini, Harris, yang baru beberapa minggu mencalonkan diri sebagai pengganti Biden, akan menghadapi Trump di panggung debat.
Para analis mengatakan debat ini akan lebih dari sekadar tontonan. Pasalnya, sesi debat tatap muka antara keduanya, yang tengah bersaing untuk meraih suara para pemilih yang terpecah, bisa menjadi penentu.
Mereka membawa gaya yang sangat berbeda. Trump telah menyinggung kecerdasan Harris dan memprediksi bahwa peluangnya untuk melawan Harris lebih baik daripada lawan debat terakhirnya, Presiden Biden. “Dia (Biden) adalah orang yang lebih pintar daripada dia (Harris). Oh, mereka sedang menunggu debat,” ujar Trump.
Dan inilah Harris, yang sedang beristirahat sejenak dari latihan debat. “Saya akhirnya bisa beristirahat dari persiapan debat untuk melihat bumbu-bumbu. (Ini adalah) bagian terbaik dari persiapan debat sejauh ini. Ada banyak hal (yang ingin saya sampaikan kepada Trump), tapi lihat, inilah saatnya untuk menghentikan perpecahan. Inilah saatnya untuk menyatukan negara kita untuk memetakan jalan baru ke depan,” kata Harris.
Debat antara Trump dan Biden pada bulan Juni lalu menarik lebih dari 51 juta pemirsa televisi AS. Para analis memperkirakan angka yang sama besarnya dalam pertarungan ini – berikut pertaruhan yang besar pula untuk Harris maupun Trump.
“Trump harus membuktikan bahwa dia bisa menjadi presiden, dan dia harus membuktikan kepada banyak orang yang melihatnya bahwa dia bisa bersikap tegas dan agresif seperti yang dia inginkan tanpa bersikap kasar; jika dia ingin merangkul siapa pun yang mungkin saat ini tidak mendukungnya. Sementara Kamala Harris harus membuktikan bahwa dia memiliki kualitas sebagai presiden, dan dia harus membuktikan bahwa dia bisa menyerang, dan dia bisa mundur. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa mengidentifikasi perbedaan kebijakannya dengan Biden, tapi tetap bergerak dalam platform Partai Demokrat yang sama,” ujar Nate French, Dosen Komunikasi Wake Forest University.
Moderator debat akan memberikan sejumlah pertanyaan kepada para kandidat mengenai isu-isu besar seperti ekonomi, hak reproduksi, kebijakan luar negeri, dan banyak lagi. Setiap kandidat, yang hanya diberi pena, kertas dan air minum, memiliki waktu dua menit untuk menjawab.
“Sampai pada tingkat tertentu, debat ini juga memberi kedua kandidat kesempatan, karena mereka bisa menyampaikan hal-hal yang ingin mereka lakukan, aspirasi mereka, tanpa harus menjelaskan bagaimana mereka akan melakukannya. Namun, yang menjadi penting adalah mereka setidaknya harus bisa menyebutkan seperti apa wujudnya ketika menyampaikan visi mereka,” Jelas Jeremi Suri, Profesor Sejarah di University of Texas at Austin.
Itu semua terjadi di sini, di Philadelphia, Amerika Serikat, kota penuh cinta dan persaudaraan, pada Selasa malam.