KalselMedia – Power Wheeling, konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan dalam perdebatan kebijakan energi di Indonesia. Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yaitu Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
“Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik, baik milik swasta maupun negara, menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya,” ujar Ketua Umum SP PT (Persero) M Abrar Ali seperti dikutip dalam rilis resmi, Rabu (11/09/2024).
Sementara itu, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”.
Namun, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi. Berikut adalah analisis dampak Power Wheeling dari berbagai perspektif:
A. Dampak Keuangan
1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik
Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%, yang dapat meningkatkan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.
2. Beban Keuangan Negara
Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost). Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun.
B. Dampak Hukum
1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022
Power Wheeling sebagai implementasi dari skema MBMS melibatkan unbundling, yang bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
2. Mereduksi Peran Negara
Skema ini berpotensi menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang dapat mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
3. Potensi Sengketa
Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume, yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
C. Dampak Teknis
1. Memperparah Oversupply
Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
2. Meningkatkan Risiko Blackout
Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
D. Dampak Terhadap Ketahanan Energi
1. Ketersediaan Akses Listrik
Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai, yang dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.
2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.
3. Emisi Rendah
Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Latar Belakang Legal Power Wheeling dan Privatisasi Energi
Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan. Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.
Selain itu, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT. Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional.
Studi Kasus Filipina: Pelajaran dari Privatisasi dan Power Wheeling
Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling. Berikut beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia:
1. Kenaikan Harga Listrik
Sejak penerapan skema Power Wheeling di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
2. Potensi Terbentuknya Kartel
Power Wheeling memungkinkan produsen listrik swasta menjual langsung ke konsumen dan menetapkan harga sesuai dengan dinamika pasar. Hal ini membuka peluang bagi pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi persaingan sehat di sektor ketenagalistrikan.
3. Keberlanjutan Pasokan Listrik
Filipina menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah privatisasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik tidak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat mengganggu keandalan sistem.
4. Beban APBN
Di Indonesia, Power Wheeling berpotensi menambah beban APBN secara signifikan. Skema ini diperkirakan akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30% dan non-organik hingga 50%. Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara pemerintah harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau.
Tantangan Lain yang Dihadapi Indonesia
Selain belajar dari pengalaman Filipina, Indonesia perlu menghadapi beberapa tantangan utama dalam implementasi Power Wheeling, termasuk:
1. Regulasi yang Mendukung
Diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan.
2. Keberlanjutan Investasi
Power Wheeling membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.
3. Beban Subsidi Listrik
Dengan skema Power Wheeling, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran (demand and supply). Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.
4. Keberlanjutan Pasokan
PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung