Rahim yang Merawat, Tangan yang Memberi Selamat: Perempuan dan Kelest

Oleh : Anisa Razak Khairina, Ketua KOHATI HMI Cabang Banjarmasin

Di tengah deru mesin pembangunan yang tak kenal lelah, planet kita kian hari kian rapuh. Bencana ekologis mulai dari banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, hingga krisis air bersih seakan menjadi kado pahit dari ambisi manusia yang tak terkendali. Dalam narasi krisis lingkungan yang sering kali didominasi oleh perdebatan politik dan ekonomi, satu perspektif krusial sering terabaikan: peran perempuan.

Perempuan, yang secara tradisional dan kultural terhubung erat dengan alam, bukan sekadar korban pasif dari krisis ini, melainkan juga adalah agen perubahan yang paling efektif. Mereka adalah “rahim yang merawat” kehidupan dan “tangan yang memberi selamat” bagi kelestarian alam.

Secara global, krisis iklim memiliki dampak yang sangat tidak setara. Laporan dari berbagai lembaga, termasuk UN Women, secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan adalah pihak yang paling rentan. Di wilayah pedesaan yang mengandalkan pertanian, perubahan cuaca ekstrem dan degradasi tanah secara langsung mengancam mata pencarian mereka.

Perempuan yang bertugas mencari air dan kayu bakar harus menempuh jarak yang semakin jauh, meningkatkan risiko kekerasan dan mengurangi waktu mereka untuk pendidikan atau kegiatan produktif lainnya.

Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas. Ketika banjir atau kebakaran hutan (karhutla) melanda, perempuan di komunitas adat dan pedesaan adalah yang paling menderita, sering kali kehilangan rumah, sumber pangan, dan akses terhadap layanan kesehatan.

Namun, mengkerdilkan peran perempuan hanya sebagai korban adalah kekeliruan besar. Justru, pemahaman mereka yang mendalam terhadap ekosistem lokal menjadikan mereka garda terdepan dalam mitigasi dan adaptasi. Di banyak komunitas adat di Indonesia, perempuan adalah penjaga utama pengetahuan tradisional tentang tanaman obat, siklus tanam, dan cara mengelola sumber daya alam secara lestari.

Pengalaman dan kearifan ini, yang diturunkan dari generasi ke generasi, adalah aset tak ternilai. Mengutip penelitian dari Bank Dunia dan UNDP, proyek-proyek konservasi yang melibatkan partisipasi aktif perempuan memiliki tingkat keberhasilan yang jauh lebih tinggi. Misalnya, program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dikelola oleh perempuan cenderung lebih efektif dalam mencegah deforestasi.

Sayangnya, suara perempuan masih sangat minim di meja perundingan. Baik di forum-forum global seperti COP (Conference of the Parties) maupun dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, representasi perempuan masih jauh dari kata setara. Kebijakan lingkungan yang ada cenderung bersifat “netral gender,” mengabaikan fakta bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan, pengetahuan, dan peran yang berbeda dalam interaksi dengan lingkungan.

Tanpa perspektif gender, kebijakan ini berisiko gagal karena tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Misalnya, program reboisasi yang tidak melibatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan dalam pemilihan jenis pohon atau lokasi penanaman, bisa jadi tidak berkelanjutan.

Pemberdayaan perempuan dalam isu lingkungan bukan hanya soal keadilan, melainkan juga tentang efektivitas. Ketika perempuan diberikan akses pada pendidikan, sumber daya, dan posisi kepemimpinan, mereka memiliki kapasitas untuk menginisiasi solusi inovatif. The Global Green Growth Institute (GGGI), dalam laporannya, menekankan pentingnya pendanaan yang berfokus pada gender untuk proyek-proyek hijau.

Di Indonesia, beberapa inisiatif telah menunjukkan hasil positif. Kelompok-kelompok perempuan di pesisir utara Jawa, misalnya, aktif dalam menanam mangrove untuk mengatasi abrasi. Di Kalimantan, perempuan adat menjadi inisiator program restorasi lahan gambut. Ini membuktikan bahwa solusi nyata datang dari tangan-tangan yang selama ini kurang didengar.

Memasuki era Indonesia Emas 2045, kita tidak bisa lagi mengabaikan peran vital ini. Pembangunan berkelanjutan yang kita impikan tidak akan terwujud tanpa mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap sektor, dari energi terbarukan hingga pengelolaan limbah.

Pemerintah harus memastikan adanya kuota partisipasi perempuan dalam setiap komite atau tim perumus kebijakan lingkungan. Lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta juga memiliki peran untuk menciptakan program-program yang memberdayakan perempuan secara ekonomi dan sosial dalam konteks kelestarian alam.

Pada akhirnya, krisis lingkungan adalah krisis kemanusiaan. Dan untuk menyelesaikannya, kita perlu seluruh potensi yang kita miliki. Dengan memberdayakan perempuan, dengan mendengarkan suara mereka, dan dengan mengakui kontribusi nyata mereka, kita tidak hanya membangun masa depan yang lebih hijau, tetapi juga yang lebih adil dan setara. Perempuan adalah rahim yang merawat kehidupan di Bumi, dan dengan tangan mereka, kita bisa berharap untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran. (RLS/NISA/MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait: