
Oleh: Muhamad Syamsu Rizal
Kepala Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda (PTKP) HMI Cabang
Banjarbaru
Seratus tahun kemerdekaan Indonesia akan kita rayakan pada 2045. Pemerintah sudah
menyiapkan blue print pembangunan lewat RPJPN 2025–2045 dengan visi besar: Indonesia
Emas, maju, berdaulat, adil, dan berkelanjutan (UU No. 59/2024). Dokumen ini bukan sekadar
peta jalan ekonomi atau infrastruktur, melainkan juga menekankan transformasi tata kelola
politik. Sayangnya, isu ini sering dipandang sebelah mata, padahal tanpa reformasi politik,
seluruh target pembangunan hanya akan berhenti di atas kertas. Ada satu bab penting yang
kerap luput dari sorotan publik, transformasi tata kelola politik dan birokrasi. Di sinilah letak kunci keberhasilan Indonesia Emas. Tanpa tata kelola politik yang sehat, terutama reformasi partai politik, seluruh target pembangunan berisiko menjadi jargon tanpa substansi.
Jantung Demokrasi Ada di Partai, Berbenah atau Bubar Saja
RPJPN 2025-2045 menempatkan transformasi tata kelola sebagai salah satu agenda
utama pembangunan. Dalam kerangka ini, partai politik memiliki posisi sentral, sebagai
penggerak demokrasi, saluran artikulasi kepentingan rakyat, dan wadah rekrutmen pemimpin.
Namun, realitas hari ini menunjukkan masih ada jurang lebar antara cita-cita dan praktik, wajah partai kita masih kusut.
Laporan LIPI (2019) menegaskan lemahnya demokrasi internal,
sementara Mietzner (2015) menunjukkan betapa politik uang dan dominasi elite jadi penyakit
kronis. Jika pola lama dibiarkan, sulit membayangkan RPJPN melahirkan demokrasi yang
sehat.
Empat Arah Reformasi dalam Perspektif RPJPN
Pertama, penguatan demokrasi internal. Rekrutmen kader mesti berbasis merit, terbuka,
dan memberi ruang nyata bagi pemuda, perempuan, serta kelompok marjinal. Tanpa itu, partai
hanya jadi mesin elektoral yang menyingkirkan talenta terbaik bangsa.
Kedua, transparansi pendanaan. Kita tahu politik berbiaya mahal. Negara harus berani
menambah subsidi partai berbasis kinerja dan akuntabilitas publik, sebagaimana
direkomendasikan Bank Dunia (2018). Sebaliknya, partai wajib membuka laporan keuangan
secara periodik.
Ketiga, pendidikan politik. RPJPN menempatkan pembangunan manusia sebagai
fondasi. Partai seharusnya konsisten memberikan pendidikan politik di luar masa kampanye.
Bukan sekadar slogan, tapi proses berkelanjutan yang menumbuhkan literasi demokrasi dan
warga negara kritis.
Keempat, representasi inklusif. Demokrasi kita tidak boleh hanya dikuasai elite laki
laki tua. Keterwakilan perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, hingga kelompok rentan
harus jadi bagian substantif, bukan sekadar angka kuota di kertas.
Dari Demokrasi Prosedural ke Substantif
Dalam kerangka RPJPN, demokrasi Indonesia diarahkan bukan sekadar prosedural,
tetapi substantif. Larry Diamond (1999) mengingatkan, demokrasi sejati bukan hanya pemilu
rutin, tapi juga hadirnya kesejahteraan dan keadilan. RPJPN menargetkan Indonesia masuk
lima besar ekonomi dunia pada 2045.
Pertanyaannya: apakah pertumbuhan itu sejalan dengan
kualitas demokrasi? Jika partai tetap beku dalam budaya lama, kita hanya akan tiba pada
demokrasi prosedural. Sebaliknya, jika partai berani berbenah, demokratis, transparan,
inklusif, maka RPJPN tak sekadar dokumen teknokratik, melainkan kontrak sosial antara
negara dan rakyat.
Generasi Muda di Persimpangan
RPJPN 2025-2045 menaruh perhatian besar pada bonus demografi. Pemuda akan
menjadi pilar utama pembangunan, termasuk dalam politik. Namun bonus ini bisa berubah
menjadi bencana jika ruang partisipasi politik tetap dikuasai oleh oligarki.
Di sinilah peran generasi muda, mahasiswa, aktivis, komunitas sipil, untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi terjun aktif, mengawal regulasi, mendorong partai berbenah, bahkan masuk ke dalam partai untuk memperbaikinya dari dalam. Jika pemuda absen, oligarki tetap jadi penguasa tunggal panggung politik. Generasi muda bukan hanya “bonus”, tetapi aktor nyata dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Visi Besar Indonesia Emas 2045 Bukan Sekadar Retorika
Indonesia Emas 2045 adalah visi besar, tetapi visi ini hanya bisa dicapai jika fondasi
politiknya kokoh. RPJPN 2025–2045 telah memberi arah dengan menekankan pentingnya
transformasi tata kelola. Sekarang tinggal bagaimana partai politik menjawab tantangan itu,
berbenah atau tertinggal oleh arus zaman.
Jika partai tetap berjalan dengan pola lama, maka Indonesia 2045 hanya akan menjadi slogan kosong. Bagi saya, sebagai bagian dari generasi muda, ini bukan hanya tantangan, tetapi juga panggilan sejarah.
Kita tidak boleh absen dalam upaya mendorong reformasi partai politik, karena di sanalah masa depan demokrasi dan visi besar. Masa depan demokrasi Indonesia ditentukan oleh keberanian kita hari ini untuk
menuntut partai berbenah. (RLS/SYAMSU/MA)