
Oleh: Aulin Safitri
Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai
Tanggal 23 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Anak Nasional, momen penting yang mestinya bukan hanya sekadar seremoni, melainkan menjadi ruang refleksi kolektif untuk melihat kembali bagaimana posisi anak di tengah realitas bangsa hari ini.
Namun, sayangnya, hingga 2025 ini, persoalan mendasar seperti kemiskinan masih menjadi sorotan utama dalam isu anak yang belum kunjung terselesaikan.
Kemiskinan adalah akar dari banyak persoalan turunan yang menimpa anak-anak. Kondisi ini menjadi penyebab anak putus sekolah, lalu terjerumus menjadi anak jalanan.
Ironisnya, anak-anak ini sering kali dieksploitasi untuk bekerja atau mengemis, bahkan oleh orangtua mereka sendiri, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini adalah potret buram yang masih nyata terjadi di negeri kita.
Tak berhenti di situ, kemiskinan yang berpadu dengan konstruksi budaya patriarki dan minimnya edukasi juga memicu tingginya angka pernikahan dini.
Banyak yang masih percaya bahwa menikahkan anak perempuan di usia belia adalah solusi praktis atas kemiskinan. Padahal, pernikahan dini justru memunculkan persoalan baru yang lebih kompleks.
Anak-anak yang dipaksa menjalani peran sebagai orang tua dalam usia yang belum matang, tak memiliki bekal mental, ekonomi, dan ilmu pengasuhan yang cukup.
Akibatnya, kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian anak, hingga kasus stunting dan gizi buruk kerap menjadi lanjutan dari rantai persoalan ini. Dalam situasi yang serba terbatas, anak-anak kembali menjadi korban kali ini oleh lingkaran keluarga yang seharusnya menjadi pelindung utama.
Dalam era digital seperti sekarang, anak-anak tanpa pengawasan dan perhatian yang layak dari keluarga juga sangat rentan terhadap paparan konten negatif di internet.
Tanpa literasi digital yang memadai, anak bisa saja tergelincir dalam perilaku menyimpang, bahkan tindakan kriminal, tanpa menyadari akibatnya. Dan lagi-lagi, siklus kemiskinan dan keterpurukan ini pun berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Inilah saatnya kita sadar bahwa membentuk anak-anak yang sehat, cerdas, dan berdaya bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi bermula dari lingkungan terkecil: keluarga. Dan dalam keluarga, peran perempuan sangat sentral bukan hanya sebagai ibu yang melahirkan generasi, tapi juga sebagai pembentuk karakter dan benteng moral anak-anak bangsa.
Oleh sebab itu, pendidikan dan pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas. Ketika perempuan berdaya, anak-anak pun akan lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang lebih berkualitas.
Mari kita ubah cara pandang kita terhadap anak. Mereka bukan objek belas kasih semata yang hanya dikasihani dalam poster dan iklan layanan masyarakat. Mereka adalah subjek perubahan, generasi yang akan menentukan arah bangsa ini, hari ini dan di masa depan.
Selamat Hari Anak Nasional 2025.
Mari bersama kita pastikan anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, berkeadilan, dan mendukung potensi mereka secara utuh.
(Aulin/Atha)